Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Juli 2011

Pengembangan Kawasan Industri Dalam Meningkatkan Investasi Di Kota Semarang

ABSTRAK
Berangkat dari perkembangan kawasan industri di kota Semarang yang masih berjalan lambat, yang mengakibatkan keberadaannya belum mampu menjadi sarana untuk memberi kemudahan bagi kegiatan industri guna mendorong minat investasi di kota Semarang sebagaimana diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan, maka penelitian ini diangkat dalam kerangka membangun kembali nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan industri dengan tujuan agar kawasan industri dapat mengambil bagian dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia khususnya di kota Semarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perangkat peraturan perundangan yang ada sudah cukup menunjang bagi perkembangan kawasan industri dalam menarik minat investasi di kota Semarang, tujuan lainnya adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembangunan kawasan industri di kota Semarang berjalan sesuai dengan harapan, serta untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ada dan memberikan saran serta masukan kepada pemerintah untuk perbaikan di kemudian hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris . pendekatan yuridis normatif digunakan dengan alasan bahwa kawasan industri merupakan institusi yang menjalankan perannya berdasarkan norma-norma hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris digunakan untuk melihat bagaimana pembangunan kawasan industri berjalan dalam realitanya. Sedangkan data yang diperoleh dianalisa secara kualitatif. Keberadaan kawasan industri diatur dengan Keputusan Presiden no. 41 tahun 1996, namun pembangunan kawasan industri dalam pelaksanaannya melibatkan beberapa instansi, sehingga diperlukan adanya koordinasi. Koordinasi tersebut akan dapat berjalan dengan baik manakala ada perangkat peraturan pada tingkat pusat maupun daerah yang mengatur keterlibatan tersebut. Sampai saat ini perangkat peraturan yang ada masih belum cukup untuk menunjang bagi perkembangan kawasan industri dalam menarik minat investasi di kota Semarang. Sejalan dengan Otonomi Daerah, pemerintah kota Semarang dapat memanfaatkan kawasan industri yang ada sebagai sarana meningkatkan iklim investasi yang lebih baik guna meningkatkan daya saing kota Semarang terhadap kota-kota lainnya dalam menarik investor. Agar kawasan industri berperan secara optimal dalam ikut serta meningkatkan minat investasi, maka diperlukan adanya dukungan dan sinergi dari pemerintah kota Semarang kepada kawasan industri yang ada . Langkah –langkah yang dapat ditempuh pemerintah kota Semarang untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memasukkan kawasan industri di dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah kota Semarang di bidang investasi, termasuk dengan memberikan perlakuan khusus kepada investor yang menanamkan modalnya di dalam lokasi kawasan industri. Kata Kunci : Kawasan Industri, Investasi.
Rumusan Masalah :
1. Apakah perangkat peraturan perundangan  yang ada sudah cukup menunjang untuk memberikan nilai tambah  bagi kawasan  industri dalam menarik  minat investor di Kota Semarang  ?. 
2. Bagaimanakah      pelaksanaan    pembangunan   kawasan   industri  di Kota      Semarang   dijalankan ?. 
3. Kendala-kendala apakah yang mungkin timbul dalam mengembangkan kawasan industri di Kota Semarang dan upaya-upaya apakah yang perlu dilakukan untuk mengurangi kendala-kendala tersebut.     

Penegakan Hukum Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Dalam Perspektif Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

ABSTRAK
Penegakan Hukum Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagai pedoman pelaksanaan dalam perspektif undang-undang nomor 5 tahun 1999 (yang pada asasnya atau tujuan harus dilaksanakan dengan prisip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, dan adil atau tidak diskriminatif) dalam pelaksanaannya masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat. Seperti melakukan persengkokolan serta melakukan kolusi dengan panitia pengadaan pada metode sistem penunjukan langsung dan pemilihan langsung untuk menentukan hasil akhir pemenang. Hal ini bisa dilihat dari fakta yang ada pada pengadaan yang dilakukan oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Jateng, karena dalam proses pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003 di situ masih terdapat adanya metode penunjukkan langsung dan pemilihan langsung untuk menentukan penyedia barang dan jasa untuk perlu dirubah sistem dan peraturannya tidak perlu lagi menggunakan penunjukkan langsung, pemilihan langsung, dan pelelangan terbatas lebih baik menggunakan metode pelelangan umum. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagai implementasi kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilaksanakan persaingan sehat dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para dunia usaha untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa, maka perlu diadakan perbaikan sistim pengadaan barang/jasa terhadap metode/sistim pemilihan penyedia barang/jasa cukup dilaksanakan dengan pelelangan umum terhadap para penyedia barang/jasa yang setara. Untuk sistim penunjukan langsung sebaiknya dilaksanakan pada pekerjaan yang bersifat darurat atau karena bencana alam. sehingga dapat mendukung persaingan usaha yang sehat sebagaimana yang telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Formulasi keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagai implementasi kebijakan publik tidak konsisten dengan asas dan tujuan pengadaan barang itu sendiri, antara lain terbuka dan bersaing, adil / tidak diskriminatif, sementara dalam metode pemilihan penyedia barang / jasa masih dilaksanakan dengan sistem penunjukkan langsung, pelelangan terbatas dan pelelangan umum, cara seperti ini justru akan mempersempit persaingan sehat dan menumbuhkan persaingan tidak sehat / tidak kompetitif, tidak adil dan diskriminatif. Sebaiknya proses pengadaan barang dan jasa dilaksanakan dengan prinsip efisien, efektif, terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif. Untuk menentukan penyedia barang dan jasa perlu dirubah sistim atau peraturannya tidak perlu lagi menggunakan penunjukan langsung, pemilihan langsung dan pelelangan terbatas lebih baik menggunakan metode pelelangan umum.

Rumusan Masalah :
1. Mengapa Pola Hukum Administrasi Pengadaan barang dan Jasa menurut Keppres 80/2003 tidak/kurang mampu menekan adanya Persengkokolan dalam tender ? 
2 Bagaimana  dampak pelaksanaan pengadaan barang/jasa sebelum dan sesudah  Kepres Nomor 80 Tahun 2003.  
3  Bagaimana formulasi Kepres Nomor 80 Tahun 2003 agar sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.  

Sabtu, 11 Juni 2011

Pembiayaan Syariah Dengan Prinsip Bagi Hasil Menurut UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Dari Sudut Pandang Hukum Islam

Abstract

Pada tanggal 17 Juni 2008, perbankan syariah memasuki babak baru dalam industri perbankan di Indonesia. Pada tanggal tersebut DPR secara resmi mengesahkan RUU Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan salah satu jawaban atas makin pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di tanah air. Salah satu prinsip utama dalam perbankan syariah adalah prinsip bagi hasil yang memiliki perbedaan karakter cukup mendasar dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga hingga prinsip bagi hasil merupakan ruh dari perbankan syariah. Meski begitu dalam prakteknya komposisi pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil ternyata masih jauh dari yang diharapkan, saat ini total komposisi pembiayaan mudharabah dan musyarakah di perbankan syariah ternyata tidak mencapai angka 40% sehingga masih kalah jika dibandingkan produk pembiayaan lain. Dalam tesis ini penulis tertarik untuk meneliti dua hal : (1) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembiayaan syariah dengan Prinsip Bagi Hasil menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta (2) Apa kendala-kendala yang dihadapi perbankan syariah dalam penerapan pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Standar normatifitas penelitian ini adalah ushul fiqh , terutama untuk mengetahui sejauh mana pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil menurut UU No. 21 tentang Perbankan Syariah tersebut sesuai dengan Hukum Islam (syariat). Dari hasil penelitian tesis ini ditemukan bahwa pembiayaan syariah dengan transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan salah satu bentuk pembiayaan dalam UU No.21 tentang Perbankan Syariah. Dalam sistem keuangan bagi hasil, tidak ada jaminan keuntungan dari usaha yang dibiayai sehingga kreditur pun harus menanggung kerugian debitur jika ia merugi, sedangkan dalam pinjaman berbunga seorang debitur harus mengembalikan pokok pinjaman ditambah bunga tanpa memedulikan apakah ia untung atau rugi. Meski transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah tidak merujuk langsung pada Al Quran dan Sunnah tetapi sebagai alternatif pembiayaan non ribawi bentuk kerjasama ini telah diterima Islam sebagai instrumen utama untuk mengembangkan jaringan perdagangan. Sebagaimana skema pembiayaan yang lain, skema pembiayaan bagi hasil juga memiliki kelemahan dalam penerapannya terutama berkaitan dengan besarnya resiko yang meliputi resiko pembiayaan, resiko pasar dan resiko operasional. Untuk meminimalisir resiko UUPS mewajibkan semua perbankan Syariah menerapkan manajemen resiko. Kendala penerapan pembiayaan ini terutama berkaitan dengan masalah keagenan yaitu asimetric information, moral hazard dan adverse selection (seleksi yang merugikan). Dalam prakteknya kendala-kendala ini diantisipasi dengan penerapan Incentive-compatible constraint.

Rumusan Masalah :
Bagaimana penerapan pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil pada perbankan syariah? 
Apa kendala-kendala yang dihadapi perbankan syariah dalam penerapan pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil ?     

Kamis, 09 Juni 2011

Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945

Abstract
Sistem UUD yang “executive heavy”, kurangnya sistem “check and balances”, rumusan yang “interpretable”, kekosongan berbagai prinsip dan kaidah konstitusional yang mendasar dan lain-lain. Semua menjadi salah satu sumber “kegagalan” menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa dan Negara. Atas dasar berbagai problem itu semula disadari oleh berbagai pihak bahwa UUD 1945 haruslah diubah agar mampu mengakomodir aspirasi dan perkembangan yang ada serta dapat menuju negara hukum yang demokratis. Berdasarkan fenomena yang ditemukan maka dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD 1945?. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimanakah kekuasaan kehakiman dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari aspek filosofis, sosiologis, dan politis Untuk menjawab permasalah penelitian, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan disesuaikan dengan jenis data melalui studi kepustakaan atau studi dokumen. Sesuai dengan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan ini, maka data akan dianalisis secara sosio legal research. Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yaitu ditetapkannya, Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana penyelenggara kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Reformasi bidang hukum harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu redefinisi tujuan hukum. Oleh karena itu reformasi bidang hukum harus : (1) dimulai dari penyempurnaan UUD 1945, (2) penataan kembali lembaga-lembaga (struktur) yang menjalankan peraturan-peraturan hukum, dan (3) melakukan perubahan mendasar terhadap sikap dan perilaku hukum para penyelenggara negara serta segenap warga masyarakat (budaya hukum). Amandemen Undang- Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Untuk meningkatkan reformasi hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supermasi hukum terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya dan juga yang tidak kalah penting adalah meningkatkan SDMnya dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, dari segi intelektual dan moral.


Rumusan Masalah :

”Bagaimanakah pelaksanaan kekuasaan kehakiman dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis, dan politis?

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana

Abstract
Globalisasi teknologi informasi yang telah mengubah dunia ke era cyber dengan sarana internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Cybercrime dapat dilakukan melalui sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran dan komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah diantisipasi dengan hukum yang mengaturnya. Dampak negatif tersebut harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyber space) atau mayantara ini dibutuhkan untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut untuk melakukan penelitian terhadap Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana maka dalam tesis ini dibatasi dalam 3 (tiga) permasalahan yaitu: Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini?; Bagaimana kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi?, serta ; Bagaimana sebaiknya kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang?. Permasalahan-permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini. Mengetahui kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi, serta menggambarkan dan menganalisa kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang. Kajian penelitian ini bersifat yuridis normatif sebagai pendekatan utama, mengingat pembahasan didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip hukum yang berlaku dalam masalah tindak pidana teknologi informasi. Pendekatan yuridis dimasudkan untuk melakukan pengkajian terhadap bidang hukum, khususnya hukum pidana. Pendekatan yuridis komparatif juga dilakukan untuk melakukan perbandingan dengan negara-negara yang sudah mempunyai peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsepsi (conceptual approach) tentang tindak pidana teknologi informasi. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis yang menggunakan data sekunder sebagai data utama dengan menggunakan teknik penelitian kualitatif. Hasil analisa yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan dalam tesis ini terhadap kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini adalah, sebelum disahkannya UU ITE terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana teknologi informasi, tetapi kebijakan formulasinya berbeda-beda terutama dalam hal kebijakan kriminalisasi-nya belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap tindak pidana teknologi informasi, kebijakan formulasi dalam UU ITE masih membutuhkan harmonisasi/sinkronisasi baik secara internal maupun secara eksternal terutama dengan instrumen hukum internasional terkait dengan teknologi informasi. Upaya penegakan hukum tidak hanya terbatas terhadap peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana aparat penegak hukum tetapi juga diiringi kesadaran hukum masyarakat yang didukung dengan kerjasama dengan penyedia layanan internet. Dalam hal kebijakan formulasi tindak pidana teknologi informasi pada masa yang akan datang hendaknya berada dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini, hal ini juga harus didukung dengan meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi. Kata Kunci : Kebijakan, Teknologi Informasi , Hukum Pidana.
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana kebijakan formulasi hukum  pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini ? 
2. Bagaimana kebijakan aplikatif yang  dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi ?  
3. Bagaimana sebaiknya kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang?

Kamis, 02 Juni 2011

Implementasi Pemungutan Royalti Lagu Atau Musik Untuk Kepentingan Komersial

ABSTRAK

Pasca-Indonesia meratifikasi Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement the Establishing World Trade Organization) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, maka Indonesia harus membentuk dan menyempurnakan hukum nasionalnya serta terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak
atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade  (GATT)1
 Salah satu lampiran dari persetujuan .GATT tersebut adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak atas Kekayaan Intelektual.


Satu hal yang harus dicermati adalah royalti harus dibayarkan karena lagu adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin mengggunakannya, sepatutnya meminta izin kepada si pemilik/ pemegang hak cipta, yaitu dalam hal ini melalui lisensi. Namun, disisi lain, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tidak mengatur mengenai royalti hak cipta secara khusus, oleh karena itu dalam pelaksanaannya, pemungutan royalti oleh KCI tidak selalu berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan, sebab ada saja pengguna/  user komersial yang menolak membayar royalti. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai implementasi pemungutan royalti lagu atau
musik untuk kepentingan komersial.

Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah mekanisme pemungutan royalti lagu atau musik untuk kepentingan komersial?
2. Bagaimanakah implementasi pemungutan royalti lagu atau musik untuk kepentingan komersial khususnya pada stasiun televisi lokal di Semarang?

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging

Abstract
way Penelitian dengan judul “ Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging” dengan pendekatan yuridis normatif yang dilengkapi dengan studi kasus, hal ini dimaksudkan untuk 1. mengetahui dan menganalisis kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya yang berlaku sekarang 2) memberikan kontribusi sumbangan pemikiran kepada badan legislatif dalam merumuskan undang-undang khususnya dalam permasalahan illegal logging dan penerapan sanksi tindak pidana dimasa yang akan datang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Formulasi Tindak Pidana illegal logging dan penerapan sanksinya yang berlaku sekarang. - Tindak pidana dibidang kehutanan diatur dan dirumuskan dalam pasal 50 dan pasal 78 Undang-undang No.41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. - Subyek hukum illegal logging menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah orang dalam pengertian baik pribadi, badan hukum maupun badan usaha, diatur dalam satu pasal yang sama tidak dibedakan pasal mengenai pribadi atau korporasi sehingga korporasi dikenakan ancaman sanksi yang sama dengan pribadi. Tentang pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging. Belum terakomodasi dalam undang-undang ini oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang tidak diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut untuk lolos dari tuntutan hukum. - Ancaman pidana yang dikenakan adalah sanksi pidana bersifat kumulatif, pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. - Pidana denda untuk korporasi belum dilengkapi dengan aturan khusus. Kebijakan aplikasi formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terjadi dalam berbagai kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora, Purwodadi dan Bojonegoro ; 2. Kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging yang akan datang diharapkan memuat secara jelas dan lengkap mengenai 1. Definisi Illegal Logging 2. Subyek Hukum tindak pidana Illegal Logging (pribadi dan badan hukum atau badan usaha atau korporasi danpegawai negeri dirumuskan dalam pasal-pasal yang komprehensif 3. Sanksi Pidana, hendaknya dirumuskan tidak secara kaku kumulatif, namun lebih fleksibel dengan perumusan alternatif atau kumulatif-alternatif.

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana  illegal logging dan 
penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ? 
2. Bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana  illegal 
logging dan penerapan sanksi pidana yang akan datang ?

Selasa, 31 Mei 2011

Pembangunan Kawasan Industri Menurut Kajian Hukum Lingkungan

Abstract
Pembangunan Kawasan Industri Candi di Jalan Gatot Subroto Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang yang dimulai pada tahun 1995/1996 setelah mendapatkan ijin dari Pemerintah, dalam perjalanannya telah melakukan penyimpangan-penyimpangan perijinannya, penyimpangan Site Plan, penyimpangan penguasaan lahan, penyimpangan golongan galian C, penyimpangan tataguna lahan. Penyimpangan itu diketahui sejak tahun 2003, kemudian Pemerintah melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Semarang, memberitahukan kepada Pemrakarsa, bahwa dengan pelanggaran-pelanggaran tersebut, mewajibkan kepada PT IPU selaku pemrakarsa Kawasan ini, untuk membuat kajian ulang sebelum melakukan pembangunan kawasan selanjutnya. Penulisan Tesis dengan judul PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI MENURUT KAJIAN HUKUM LINGKUNGAN (Studi Kasus Kawasan Industri Candi di Kota Semarang) ini, didasari kepada pelaksanaan pembangunan kawasan industri yang diprakarsai oleh PT IPU, telah menimbulkan dampak luas bukan hanya kepada masyarakat sekitar kawasan saja, melainkan juga kepada masyarakat umum kota Semarang, antara lain Masyarakat petani tambak di kawasan pantai utara kota Semarang, masyarakat perumahan yang berdekatan dengan aliran sungai silandak, masyarakat umum pengguna jasa transportasi udara dan transportasi darat (kereta Api, Bus) khususnya pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau dampak yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan adalah adanya penurunan Debit air bawah tanah yang terus merosot akibat pembangunan / pembuatan Sumur Air Bawah Tanah di Kawasan Industri yang tidak terkendali, debu yang mengguyur sekitar kawasan Industri Candi ini, merosotnya kuwalitas kesehatan masyarakat sekitar, merosotnya kesuburan tanah yang menyebabkan menurunnya kemampuan resapan air atau kemampuan konservasi kawasan sekitar. Pembangunan kawasan Industri candi di kawasan Jalan Gatot Subroto Ngaliyan Semarang dari sisi perijinannya telah terjadi pelanggaran, karena pembangunan yang sampai sekarang masih berjalan, tidak mempunyai dasar perijinan yang resmi, dari institusi tehnis Pemerintah kota Semarang, maka perlu dilakukan langkah-langkah hokum yang jelas yang beupa peninjauan kembali perijinannya, pemberian sanksi secara hokum yang jelas, dan transparan kepada publik.


Rumusan Masalah :


1. Bagaimana proses  perijinannya sebelum dilakukan pembangunan kawasan Industri Candi 
di Jalan Gatot Subroto Semarang, menurut hukum lingkungan.  
2. Kendala-kendala apa saja yang terjadi  dalam proses pembangunan Kawasan Industri Candi di 
Jalan Gatot Subroto Ngaliyan, Semarang .  
3. Bagaimana dampak pembangunan kawasan Industri Candi Gatot Subroto terhadap usahausaha pelestarian dan penyelamatan  lingkungan. 
4. Bagaimana pembangunan  kawasan Industri dari aspek hukum lingkungan. 

Penyelesaian Sengketa Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPRD Pontianak

Abstract
Pergantian antar waktu anggota Legistlatif Daerah (DPRD), pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan sistem penempatan anggota legislatif itu sendiri. Fenomena PAW ini seringkali menimbulkan sengketa hukum di kemudian harinya, khususnya oleh salah satu pihak (umumnya adalah mereka yang dikenakan pemecatan dan/atau penggantian) yang merasakan ketidakadilan atas apa yang terjadi dengan jabatan mereka. Pihak-pihak yang merasa dirugikan ini dalam memperjuangkan ‘ketidakadilan’ yang dialaminya, umumnya menempuh upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bertolak dari uraian tersebut, maka muncul permasalahan yang mendapat perhatian, yaitu: (1) Apakah dasar hukum pergantian antar waktu anggota DPRD, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi terjadinya sengketa, (3) Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa-sengketa pergantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), (4) Bagaimana pergantian antar waktu dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang ideal dalam sistem perwakilan. Dalam memperoleh dan menganalisis data, digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan empiris. Dalam pembahasan terlihat bahwa pergantian antar waktu (PAW) seorang anggota DPRD dilakukan dengan mengacu pada aturan dan mekanisme hukum, dalam hal ini UU No. 22 Tahun 2003 dengan operasional pelaksanaannya dalam PP No. 25 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 53 tahun 2005. Mekanisme PAW juga diatur dalam Keputusan Mendagri yang tertuang dalam SK No.161.74-55/2008 tanggal 8 Februari Tahun 2008. Latar belakang PAW tentu berbeda-beda antar anggota dewan, mulai dari perpecahan kepengurusan partai politik, tindakan pidana anggota dewan, dan perbedaan pandangan terkait orientasi kepentingan partai politik yang didasarkan pada AD/ART partai. Namun faktor kepentingan pengurus partai politik sangat dominan menentukan PAW tersebut. Salah satu ciri khas yang seringkali dijadikan pijakan dalam penyelesaian sengketa PAW melalui PTUN adalah, dalam PTUN dikenal adanya Prosedur Penolakan (Dismissal prosedur). Prosedur penolakan merupakan suatu kekhususan dari Hukum Acara Peradilan Administrasi, karena prosedur seperti ini tidak dikenal dalam proses Hukum Acara Perdata. Dalam prosedur Penolakan ini Ketua Pengadilan melakukan pemeriksaan dalam Rapat Pemusyawaratan. Ketua tersebut berwenang menyatakan suatu gugatan tidak diterima dengan alasan gugatan tidak mempunyai dasar. Apabila kita cermati prosedur PAW selama ini, maka penulis berpendapat, untuk prosedur yang ideal adalah, perlu dilakukan pembenahan dalam internal partai sebagai sebab dominan timbulnya sengketa untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya sengketa terhadap ketetapan PAW. Sehingga jika tetap timbul sengketa terhadap Surat Ketetapan Eksekutif terkait PAW tersebut, maka perlu dipahami bersama bahwa Eksekutif dalam hal ini Gubernur dan Bupati hanya sebatas mengesahkan, sedangkan pertimbangkan pada pokoknya ada pada internal partai. 

Senin, 30 Mei 2011

Implementasi Uu No.41 Tahun 1999 Terhadap Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Dan Menjaga Kelestarian Hutan

Masyarakat tepi hutan yang secara langsung berinteraksi dengan kawasan
hutan pada kenyataannya sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan dan
keterbelakangan.Bahkan dibeberapa kasus banyak sekali masyarakat desa hutan yang
dikriminalisasi akibat mengakses hutan dengan alasan tanpa memiliki izin,
mereka dituduh melakukan pembalakan liar (illegal logging).Demikianlah kondisi masyarakat desa hutan yang dialami oleh masyarakat sesa semakin terhimpit tidak bisa bergerak sama sekali.

Rumusan Masalah :


1. Bagaimana implementasi UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
dan dampaknya terhadap pembinaan masyarakat desa hutan dalam menjaga
kelestarian hutan ?di Desa Ketenger Kecamatan Baturaden KPH Banyumas
Timur.
2. Apakah yang menjadi kendala dan hambatan yang terjadi dalam
implementasi UU No 41 Tahun 1999 ?

Perencanaan Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Abstract
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia dimana masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses. Disisi lain semangat desentralisasi dan reformasi menuntut perubahan-perubahan peran dari pemerintah maupun masyarakat. Sebagai jawaban atas tuntutan perubahan tersebut, good governance perlu diterapkan dalam segala aspek pembangunan, termasuk di dalamnya perizinan yang merupakan instrumen penting bagi Pemerintah Daerah dan merupakan potensi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Unit Pelayanan Terpadu sebagai lembaga yang bertugas memberikan pelayanan perizinan di Kabupaten Pekalongan belum mampu memenuhi harapan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat, murah, dan transparan. Hal ini berkaitan dengan belum adanya penyusunan perencanaan program berkesinambungan yang mempertimbangkan prosedur, metode, anggaran dan kebijakan. Faktor lain yang kurang diperhatikan adalah kurangnya pelibatan swasta dan masyarakat dalam menyusunan perencanaan program peningkatan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur tanggungjawab petugas pelayanan, kepastian biaya pelayanan, kemudahan memperoleh informasi, keadilan pemrosesan permohonan dan kecepatan pihak pengelola memproses keluhan atau pengaduan masyarakat sebagai prioritas utama yang diinginkan masyarakat untuk dipenuhi oleh organisasi publik, namun dalam pelaksanaannya masih mengecewakan Hal-hal yang telah berhasil dilaksanakan UPT berkaitan dengan kemampuan petugas pelayanan, kesopanan dan keramahan pelayanan, penyediaan ruang partisipasi masyarakat, dan kesempatan mempelajari berkas pelayanan. Penyusunan perencanaan program belum dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Terpadu disebabkan pejabat pelaksana yang ada di dalamnya masih merangkap jabatan serta bersifat non eselon, sehingga tidak memiliki kewenangan penuh untuk menyusun program, kurangnya pelibatan pihak-pihak terkait dengan perizinan serta kurangnya dukungan dan komitmen pimpinan puncak dalam peningkatan pelayanan publik. Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya menyusun program peningkatan pelayanan publik berkaitan dengan tanggungjawab petugas pelayanan, kepastian biaya pelayanan, kemudahan memperoleh informasi, keadilan pemrosesan permohonan, kecepatan pihak pengelola memproses keluhan atau pengaduan masyarakat, menyusun visi dan misi pelayanan, peningkatan kelembagaan pelayanan, penyusunan standar operasional prosedur, pemenuhan sarana dan prasarana, information and communication technology, dan evaluasi pelayanan publik.


Rumusan Masalah :


a.  Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kabupaten Pekalongan untuk pertimbangan dalam penyusunan program peningkatan kualitas pelayanan publik? 
b.  Faktor rencana/program apa yang perlu disusun untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik di Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kabupaten Pekalongan?  

Penyelesaian Kredit Bermasalah Khususnya Yang Dijamin Dengan Hak Tanggungan Di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk

Abstract
Kredit bermasalah yang dijamin dengan Jaminan Hak Tanggungan terjadi karena adanya debitur mengingkari janji untuk membayar bunga dan/atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran. Dengan demikian mutu kredit merosot. Oleh karena itu dalam menyusun strategi menanamkan dana yang dikuasai seyogianya bank tidak terpaku pada usaha menghindari kredit bermasalah, melainkan berusaha menekan resiko munculnya kasus itu serendah mungkin. Didalam penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Jaminan Hak Tanggungan di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Pandanaran Semarang dilakukan dengan cara diluar proses pengadilan dan penyelesaian lelang melalui Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara, penyelesaian kredit bermasalah diluar proses pengadilan dapat dilakukan dengan upaya penyelamatan dengan memanggil debitur dan mengundang konsultan manajemen untuk menyelamatkan usaha debitur atau dengan jalan rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali), restructuring (penataan kembali). Jika upaya penyelamatan tidak berhasil maka selanjutnya dengan menghapus kredit tadi dari neraca (write off the debt), atau berupaya menagih/menarik kembali kredit dari debitur dengan cara penagihan langsung, eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, dan penyelesaian piutang yang macet diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) untuk menyelenggarakan pelelangan harta jaminan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris, karena penelitian hukum ini menggunakan data yang langsung diperoleh dari masyarakat (data primer). Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan hukum yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas. Kendala yang dialami oleh pihak bank dalam melakukan penyelesaian kredit bermasalah dapat disebabkan oleh berbagai macam hambatan diantaranya adalah pelaksanaan eksekusi dan penjualan lelang harta jaminan yang dilakukan melalui DJPLN. Sebaiknya pihak bank sebelum memutuskan untuk pemberian kredit kepada seorang debitur harus tahu gambaran yang jelas tentang masa depan perusahaan debitur, dan semua pejabat kredit mempunyai kemampuan serta keahlian sesuai dengan proses pelayanan kredit di BRI serta sesuai dengan prosedur pelayanan terhadap nasabah dengan ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 xi tentang perbankan yaitu dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usaha atau prudential banking.


Rumusan Masalah :



1. Bagaimanakah Bank BRI (Persero) Tbk Kantor Cabang Pandanaran  Semarang menyelesaikan kredit bermasalah yang dijamin dengan  Jaminan Hak Tanggungan ? 
2. Apakah yang menjadi hambatan Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Pandanaran Semarang di dalam penyelesaian kredit bermasalah yang  dijamin dengan Jaminan Hak Tanggungan dan cara mengatasi hambatan?  

Peranan Pegawai Pencatat Nikah (Ppn) Dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal

Abstract
Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal (Study Kasus Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan) Ada kalanya perkawinan telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu wali nikah.Apabila wali nikahnya tidak setuju,maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan pertama yaitu melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah atau jalan kedua , yakni mengajukan sengketa antara calon pengantin dan walinya, kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang Perumusan Masalah dari penelitian ini adalah :Bagaimana gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan ,Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal dan Bagaimana peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian pernikahan wali adlal .Tujuan dari penelitian ini adalah ,Untuk memahami gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal realisasi penyelesaiannya serta untuk memahami peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Metode Penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif” Kasus pernikahan wali adlal terjadi karena , masing-masing pihak tidak memahami hak dan kewajibannya serta dominasi peran wali nikah. Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan adalah dengan jalan musyawarah melalui mediasi oleh PPN dan juga penyelesaian melaui Pengadilan Agama. Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal , PPN bertindak sebagai mediator , PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dengan mewakili wali menikahkan calon mempelai serta PPN bertindak sebagai wali hakim setelah terbitnya penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama . Judul Penelitian tesis ini adalah “Kajian Tentang Wakaf Uang dan Manfaatnya Bagi Pengembangan Ekonomi di Kabupaten Magelang”. Bila dicermati , pendayagunaan harta wakaf untuk kegiatan ekonomi produktif masih belum banyak dilakukan . Padahal wakaf memiliki potensi yang sangat prospektif guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama konsep wakaf uang. Namun secara historis , wakaf uang sendiri masih menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan wakaf uang dan bagaimana bentuk-bentuk wakaf uang dalam kegiatan ekonomi serta bagaimana peranan BAZDA Kabupaten Magelang dalam memperlancar pemanfaatan wakaf uang.Tujuan dari penelitian, adalah untuk memahami bagaiamana pengaturan wakaf uang, memahami bentuk-bentuk wakaf uang dan memahami peranan BAZDA dalam memperlancar pemanfaatan wakaf uang di Kabupaten Magelang. Metode dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Empiris ” .Sedang spesifikasi dari penelitian, ialah diskriptif analitis yaitu menggambarkan sesuai permasalahan wakaf tunai. Pengaturan Wakaf Uang di Kabupaten Magelang secara teoritik, baik fiqh, literatur sejarah penggunaan wakaf, maupun peraturan perundangan, khususnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , telah diarahkan untuk merealisir keadilan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat. Bentuk-bentuk Wakaf Uang dalam praktik di Kabupaten Magelang, sudah diarahkan untuk kesejahteraan sosial dan peningkatan ekonomi, dan pengelola wakaf (BAZDA) telah menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Peranan BAZDA dalam memperlancar pelaksanaan wakaf tunai/wakaf uang di Kabupaten Magelang,secara umum telah berjalan secara profesional dan manajemen compatible dengan Islam,harta wakaf dapat berkembang dengan baik , dapat meningkatkan perkembangan ekonomi dan hasilnya dapat bermanfaat bagi masyarakat di Kabupaten Magelang.
Rumusan Masalah :
1. Bagaiamanakah gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di 
KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang ? 
2. Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali 
adlal ? 
3. Bagaimana  peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam 
penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan 
Muntilan Kabupaten Magelang.? 

Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah Dan Potensi Wilayah: Studi Tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta

Abstract
The focus of the study is the empowerment of HOD (Regional Autonomy Law) and Regional Potency with the specification of the study towar the opportunity of the formation of Surakarta Province. What is meant by HOD (Regional Autonomy Law) is the princples all rules and decrees on regional autonomy, and especially PP (Governent Decree) No. 129/2000 on the requirement and the criteria of the Formation, Enlargement, Abolishment and the Fusion of Regions. Empowerment of HOD (Regional Autonomy Law) is the interpretation and implementation of rules and decrees which, in this context, involve two concpets, namely: appropriateness and utility. The appropriateness means whether a region is reasonable to be developed into a province according to the requirement and criteria stated in PP (Government Decree) No. 129/2000, and the utility means whehter there is benefit when a region is developed into province. The Ex-Surakarta Residency covers Surakarta Municipality and Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen and Klaten regencies. The result of the study conducted, based on the criteria and requirements ruled in article 13 of PP (Government Decree) No. 129/2000 point 1. General, which declares that basically one of the principles of the development or enlargement of the region is that it can conduct its autonomy (in this case whe the Ex-Surakarta Residence region becomes a province), and Central Java Province, as the main region, can also conduct its autonomy. Utility for benefit that the region achieves when it become a province is that it will get the larger opportunity in developing all the region potency so that the main objectives of the autonomy, the prosperous community, will be more easily achieved. That is caused by: 1. the bureaucracy which is hierarchically and geographically shortened, in accordance to the broader opportunity to the empowerment of government bureaucracy; 2. the coordination among the regency or city which will be more effective and efficien; 3. the greater resources for development cost; and 4. then opportunity to develop the region of Ex-Surakarta regency to be a better prospective region of economy, culture, and politic. Fokus studi ini adalah Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah (HOD) dan Potensi Wilayah, dengan spesifikasi studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta. Yang dimaksud dengan HOD di sini adalah asas-asas, seluruh peraturan dan ketentuan yang berkaitan dengan otonomi daerah, dan khususnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Sementara, yang dimaksud dengan Pemberdayaan HOD adalah penafsiran dan penerapan peraturan dan ketentuan tersebut, dan dalam konteks ini muncul dua konsep yaitu kelayakan dan kemanfaatan. Kelayakan yang dimaksud adalah layak tidaknya suatu daerah atau wilayah menjadi sebuah provinsi menurut syarat/kriteria yang diatur dalam PP. 129/2000; dan arti kemanfatan yang dimaksud adalah manfaat apa saja bagi suatu daerah atau wilayah jika dikembangkan menjadi sebuah provinsi. Dasar pertimbangan timbulnya pemikiran untuk mengembangkan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah provinsi adalah: 1. memperpendek rentang birokrasi pemerintahan baik dilihat dari segi geografis maupun hirarkis; 2. koordinasi antar daerah Kabupaten/Kota akan lebih efektif dan intensif; 3. memperbesar sumber-sumber pembiayaan pembangunan; 4. peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk dalam proses-proses pengambilan keputusan; 5. peningkatan kualitas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam mewujudkan pemerintahan yang bertanggungjawab (good governance). Selanjutnya, studi ini bertujuan: 1. ingin melihat tingkat kelayakan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta, 2. ingin mengetahui berbagai kemungkinan dalam pengembangan potensi wilayah; 3. ingin mengetahui permasalahan-permasalahan mendasar dan solusi yang mungkin dapat dilaksanakan, menurut skala prioritas di wilayah tersebut, yang pada tahap awal akan dilihat dari arti kemanfaatan jika Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah provinsi. Kemudian, studi ini akan memberikan kontribusi: 1. sebagai masukan bagi pihak-pihak yang menginginkan terbentuknya “Provinsi Surakarta”; 2. masukan bagi pengembangan “hukum otonomi daerah” pada tingkat makro; 3. menambah khasanah pengetahuan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya sosiologi hukum. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini, setelah proposal* dianggap siap atas petunjuk tim prmotor, meliputi: 1. pengumpulan data sekunder dan data primer; 2. klasifikasi dan kategorisasi data; 3. pengolahan dan cek ulang data; 4. analisis data berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada; 5. penyajian data setelah dilakukan analisis; 6. penyusunan draft awal laporan penelitian; 7. penyusunan draft akhir penelitian, setelah memperoleh masukan dari * Proposal penelitian disusun berdasarkan hasil penelitian pendahuluan setelah proposal diseminarkan dan dilakukan perbaikan, selanjutnya dilaksanakan penelitian intensif. Perlu dijelaskan pula, bahwa sejak promovandus melakukan penelitian pendahuluan hingga berakhirnya penelitian, promovandus dibantu oleh M. Farid Wajdi, SE. MM. sebagai asisten peneliti, dan difasilitasi oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat-Universitas Muhammadiyah Surakarta (LPM-UMS), 2002-2003. tim promotor; dan 8. penyusunan naskah desertasi berdasarkan laporan hasil penelitian, masukan dari seminar hasil penelitian, dan pengarahan dari tim promotor. Dari hasil studi yang telah dilakukan berdasarkan kriteria/persyaratan yang diatur pada Pasla 13 PP No. 129/2000, yang memuat 7 kriteria, yang dijabarkan menjadi 19 indiaktor dan 43 sub indikator, bahwa wilayah Bekas Karesidenan Surakarta yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, dan Klaten layak untuk dikembangkan menjadi sebuah Provinsi yang tergolong dalam kategori Pemekaran Daerah. Sesuai dengan Penjelasan PP No. 129/2000 pada bagian 1. Umum, yang pada intinya salah satu prinsip perkembangan daerah atau pemekaran daerah, bahwa daerah yang baru dibentuk atau dimekarkan dapat melaksanakan otonomi daerahnya (dalam konteks ini jika wilayah Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah Provinsi), dan Provinsi Jawa Tengah sebagai daerah induk ternyata juga akan tetap dapat melaksanakan otonomi daerahnya. Kemanfaatan yang akan diperoleh jika wilayah Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah Provinsi, akan terdapat peluang dan kemungkinan yang lebih besar dalam pengembangan seluruh potensi wilayah, sehingga tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat peluangnya juga akan lebih besar. Hal demikian, karena: 1. rentang birokrasi pemerintahan baik dari segi hirarkis maupun geografis menjadi lebih pendek, sehingga pemberdayaan birokrasi pemerintahan akan memiliki peluang yang lebih besar; 2. koordinasi antar daerah kabupaten/kota akan lebih efektif dan itnensif; 3. memperbesar sumber-sumber pembiayaan pembangunan; dan 4. peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat juga akan lebih besar. Dengan kata lain, peluang untuk mengembangkan wilayah Bekas Karensidenan Surakarta sebagai kewilayahan ekonomi, kewilayahn budaya dan kewilayahan politik akan lebih besar, dengan prospek yang lebih baik.

Jumat, 20 Mei 2011

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi Dalam Bidang Kesehatan Di Indonesia

Abstract
Background: By this time, it has a tendency in many regulations which it covered law administration use penal law to enforcement the regulation, even increasing. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy’s problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is strategic step because the regulation is being decision. So the research will be conducted to formulation policy in administrative penal law on health in Indonesia. Issue and Objection: the research is conduct to find out formularize policy of administrative penal law on health that it has current authority including a perform should be offences, determination of sanction for the offender and determination of sanction suit to the offender; and to find out formularize policy of administrative penal law on health in the future. That is related with penal reform. Methods : This research is juridical normative i.e. research with approach concepts or methods in normative law science supported juridical comparative. Results : A. Formulation policy of administrative penal law on health sector at present : (1) Criminalization policy : a). The offences are not administrative crime or regulatory offences pure. b). There are qualification in crime and less crime (2). The criminal responsibility: a). Subject of offences which it formulated is more human being in natural than corporation. The criminal responsibility of corporation is not formulated completely. b). Base of Fault: it is not formulated completely. (3). Penal formulation and guiding of giving sanction: a). kind of sanction (strafsoort) is more imprisonment than others. b). The numbers of sanction (strafmaat) from quantity aspect is very high. c). Guiding of giving sanction: it is not formulated yet. B). The Prospect of formulation policy in Administrative Penal Law on health sector for the future : (1). Criminalization policy: a). The cover of offences as administrative crime is administrative responsibility, allowance, provision or conditional and standard. b). The qualification of offences is not distinguish crime or less crime (2). The criminal responsibility: a). Subject of offences is human being and corporation. The system of criminal responsibility for corporate can be formulated completely which it covered who can be responsible for crime, when and how corporation can be responsible. c). Base of Fault: it has to available the kind of fault. In special condition, for corporate may use strict liability. (3). The penal formulation and guiding to give of sanction: a). Kind of sanction (strafsoort) use fine and measures or treatment. Imprisonment can be used in special condition. b). The numbers of sanction (strafmaat) suit the gradation of the offences. c). Guiding of giving sanction: it can be formulated completely as directions for judge. Latar belakang : Dewasa ini ada kecenderungan berbagai UU yang masuk dalam lingkup hukum administrasi mencantumkan ketentuan pidana, bahkan semakin meningkat. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut perundang-undangan pidana ditetapkan. Oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap kebijakan formulasi hukum pidana administrasi dalam bidang kesehatan Permasalahan dan tujuan penelitian : bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana administrasi dalam bidang kesehatan yang selama ini dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana administrasi dalam bidang kesehatan yang seyogyanya ditempuh pada masa mendatang. Hal ini berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang ditunjang dengan pendekatan yuridis komparatif. Penelitian dilakukan terhadap 13 UU yang mengatur masalah kesehatan. Hasil penelitian : A. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi Dalam Bidang Kesehatan Selama Ini. (1) Kebijakan Kriminalisasi : a). Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana tidak semuanya murni hukum pidana administrasi. b). Adanya kualifikasi tindak pidana dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran. (2). Pertanggungjawaban Pidana : a). Subjek tindak pidana yang berupa orang dalam arti alamiah lebih banyak dirumuskan daripada korporasi. Sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi belum semuanya dirumuskan secara lengkap. b). Bentuk Kesalahan : belum semua merumuskan kesalahan. (3). Perumusan Pidana dan Aturan Pemidanaan : a). Jenis sanksi (strafsoort) yang paling banyak digunakan adalah penjara. b). Jumlah atau lamanya pidana (strafmaat) yang diancamkan ditinjau dari segi kuantitasnya sangat tinggi. c). Aturan pemberian pidana belum dirumuskan. B. Prospek Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi dalam Bidang Kesehatan Dimasa Datang. (1). Kebijakan kriminalisasi : a). Ruang lingkup perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi adalah pelanggaran terhadap kewajiban administrasi, perizinan, persyaratan dan standar yang ditetapkan. b). Kualifikasi tindak pidana seyogyanya tidak lagi membedakan kejahatan dan pelanggaran. (2). Pertanggungjawaban Pidana : a). Subjek tindak pidana berupa orang dalam arti alamiah dan korporasi. Perumusan pertanggungjawaban korporasi sebaiknya lengkap yang meliputi siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, kapan dan dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan. b). Bentuk Kesalahan seyogyanya tetap ada.




Rumusan Masalah :



Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka permasalahan pokok dalam
penelitian ini berkisar pada masalah kebijakan formulasi hukum pidana administrasi
dalam bidang kesehatan. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana administrasi dalam bidang
kesehatan selama ini ?
2. Bagaimana prospek kebijakan formulasi hukum pidana administrasi dalam
bidang kesehatan di masa datang ?

Sabtu, 14 Mei 2011

Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia

Abstract
The investigation power subsystem is the decisive phase of operational of integrated criminal justice system to get a research of pholder of criminal low, because of this investigation phase it can be known that there is incident crime or the action of criminal and also to decide a suspected criminal or the action of criminal before the criminal is demended and judged in the court by giving the appropriate criminal punishment with lus action without doing this process or the investigation phase automatically, the next phase of criminal justice process is demanding, investigation in the court and the implementation of decision criminal phase can not be done. Based on the background which had explained above, there is a new problem that has to be examined that is the capability of legislation about the investigating officer agency in Indonesia has to support the integrated criminal justice system and how should the capability of legislation about the investigating officer agency in Indonesia which support the criminal integrated justice system in the future. The method of this test is done by using descriptive analysis method with the approach of formative juridical. Both of the secondary and primary data are collected by book and document studying by understanding the low as the tools or the positive norms in the legistation system which arrange the human life. From the result of the research that had done, it can be conclude : (1) the capability of legislation about the investigating officer agency in Indonesia now does not have a constitution which especially arrange the mechanism, manner and coordination from the investigating officer agency appropriate with the concept of integrated criminal justice system. Beside that there is a problem that have the characteristic os structural and finally it becomes a structural problem that is attitude and habbit of investigation officer that sometimes ignore the important of corporation and coordination in the process of research. (2) for the future, it should be done the repairing include the repairing of substantional characteristic by making arranging the rule of special legislation that arrange the mechanism, manner and coordination from the investigating officer agency, and also repairing that has the structural or cultural characteristic that is the attitude and the habbit of investigating officer agency so that appropriate with the ideal concept of (integrated criminal justice system). Sub sistem kekuasaan Penyidikan, adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan,pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,maka muncul permasalahan yang harus diteliti yakni apakah kebijakan perunndang-undangan mengenai badan penyidik di Indonesia saat ini sudah menunjang sistem peradilan pidana terpadu dan bagaimana seharusnya kebijakan perundang-undangan mengenai badan penyidik di Indonesia yang menunjang sistem peradilan pidana terpadu di masa yang akan datang. Metode penelitian dalam tesis ini, dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data baik data sekunder maupun data primer dikumpulkan dengan cara studi pustaka dan studi dokumen dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Berangkat dari hasil penelitian yang telah dilakukan,penelitian ini menghasilkan kesimpulan: (1) kebijakan perundang-undangan mengenai badan penyidik di Indonesia pada saat ini,belum menunjang sistem peradilan pidana terpadu, karena sampai sat ini indonesia belum mempunyai undang-undang yang khusus mengatur mengenai mekanisme,tata kerja dan koordinasi dari badan penyidik yang sesuai dengan konsepsi sistem peradilan pidana terpadu.selain itu masih terdapat permasalahan yang bersifat struktural yang pada akhirnya menjadi masalah struktural yakni sikap dan tingkah laku para aparat penyidik yang kadang mengabaikan pentingnya saling kerja sama dan koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan.(2) untuk masa yang akan datang, harus dilakukan pembenahan baik pembenahan yang bersifat substansial dengan membentuk dan menyusun peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang mekanisme, tata kerja dan koordinasi dari badan/lembaga penyidik., dan juga pembenahan yang bersifat struktural maupun kultural yaitu pembenahan sikap atau tingkah laku dari para aparat penyidik, agar sesuai dengan konsepsi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang ideal
Rumusan Masalah :
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan per-Undang-Undang-an mengenai Kewenangan Penyidik di Indonesia saat ini sudah menunjang Sistem Peradilan Pidana Terpadu?
2. Bagaimana kebijakan per-Undang-Undang-an mengenai Badan Penyidik di Indonesia yang menunjang Sistem Peradilan Pidana Terpadu di masa yang akan datang?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Isi Buku Tamu Ya....!


ShoutMix chat widget
 
Powered by Blogger